bercermin pada botol plastik

Standard

Tanggal 22 April 2016 lalu – kebetulan Hari Bumi – saya berkesempatan menghadiri Ecobricks Trainer of Trainers Workshop di Fairmont Sanur Beach, Bali. Walaupun hari itu adalah pertama kalinya saya berjabat tangan dengan si batako plastik, sudah hampir setahun saya mengenal ide ini. Berawal ketika secara tidak sengaja saya membaca post di Facebook bahwa Ecobricks memerlukan relawan penerjemah, saya lantas meninggalkan pesan di post itu dan kemudian berkenalan dengan Russell Maier, sang penggagas. Singkat cerita, karena inisiatif saya yang (kadang-kadang) terlalu tinggi, saya ditanggap menjadi penerjemah sekaligus pengawas terjemahan Panduan Visi Ecobrick edisi Bahasa Indonesia. Mungkin juga saya dipercaya karena pekerjaan sehari-hari saya memang penerjemah sastra sekaligus relawan di green-books.org, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan lingkungan untuk anak.

Kembali ke workshop, acara yang sedianya dimulai pukul 9 dan berakhir pukul 12 ternyata mulur karena diskusi yang seru saat Russell menyajikan presentasinya. Maklum, peserta workshop ini hampir seluruhnya penggiat di bidang lingkungan yang sangat bersemangat ingin menebarkan benih pengetahuan ini. Setelah dibekali konsep dan filosofi di balik Ecobricks, kami mulai praktik membuat batako sesudah makan siang. Peserta dipersilakan mengambil satu buah botol kosong bekas kemasan air mineral ukuran 600ml serta tongkat bambu, lalu duduk mengerumuni berkarung-karung sampah plastik hasil pulungan di pantai-pantai sepanjang wilayah Sanur.

Teknis pembuatan Ecobricks ini sederhana, yaitu memasukkan sebanyak mungkin sampah plastik ke dalam botol. Kedengarannya mudah, tapi astaga… ternyata kerja keras! Batako Ecobricks yang “baik dan benar”, kriterianya sebagai berikut:

  1. Diawali dengan memasukkan soft plastic (kresek) berwarna di dasar botol. Bukan kenapa-kenapa, tapi bagian ini biasanya akan menjadi “tampak muka” saat Ecobricks disusun menjadi modul.
  2. Agar moduler, gunakan botol dari merek dan ukuran yang sama.
  3. Berat ideal untuk Ecobricks 600ml minimal 200gr. Karenanya, pemanfaatan ruang dalam botol harus maksimal! Untuk ini, soft plastic adalah kunci. Berapa pun banyaknya jenis plastik lain yang dimasukkan ke dalam botol, si kresek berfungsi mengisi tiap selanya sehingga kepadatan batako terjamin.

Sayangnya kegiatan kami hari itu terhenti pukul 4 sore ketika botol saya baru terisi setengah. Karena keesokan harinya saya berhalangan hadir, saya membawa pulang botol dan tongkat bambu (ups, jangan bilang-bilang) dan bertekad menyelesaikannya di rumah.

Selama hampir dua minggu saya mencoba mengumpulkan sampah plastik pribadi dan rumah tangga kami yang hanya beranggotakan tiga orang. Kemudian dua malam lalu, setelah menyelesaikan pekerjaan hari itu, saya duduk di lantai dan melanjutkan PR Ecobricks.

Berusaha menyelipkan kresek ke berbagai sela menjadi sarana penyaluran stres yang cukup memuaskan. Dan ketika tangan mulai terbiasa, mengerjakan Ecobricks sendirian ternyata kegiatan yang kontemplatif. Saya menyadari banyak hal tentang diri saya sendiri dan perilaku manusia, khususnya dalam hal manajemen sampah.

Hal pertama yang saya sadari adalah volume sampah (plastik) kita dapat berkurang secara signifikan dengan membuat Ecobricks. Seperti terlihat pada foto, setengah dari Ecobricks yang saya buat berisi sampah plastik yang saya kumpulkan selama hampir dua minggu di rumah. Kalau sampah itu saya buang dalam wujud aslinya ke tempat sampah, yang dua kali seminggu diangkut untuk dimuntahkan ke TPA, dimensinya “mekar” berkali-kali lipat. Itu baru seorang, atau setidaknya satu rumah. Bayangkan satu RT, satu kelurahan, satu kecamatan… satu dunia! Ingat lho, plastik tidak bisa terurai secara alami. Dan dengan kecepatan kita mengonsumsi, bisa-bisa volume sampah plastik kita melebihi kepadatan populasi dunia – atau mungkin sudah?

Membayangkan volume sampah ini membuat saya jadi lebih memperhatikan sampah sendiri, dan secara tidak langsung artinya memperhatikan apa yang saya pakai/konsumsi: kantong kresek yang kita bawa tiap kali membawa pulang makanan dari warung di depan gang, plastik bekas kemasan roti tawar beserta klipnya yang bertuliskan tanggal kedaluwarsa, kemasan plastik berlapis foil pembungkus snack pengganjal perut, sedotan untuk menyeruput puding di dasar minuman teh susu, “kertas” penyerap kelebihan minyak pada muka (percaya atau tidak, itu plastik jenis polypropylene), tag penyemat merek/harga di baju baru atau untuk menempelkan nama kita pada pakaian yang dicuci di laundry, dst., dst. Itu baru yang muat lewat mulut botol. Belum wadah styrofoam bekas mie goreng yang dipesan lewat aplikasi ojek online… Belum gelas plastik sekali pakai waktu nongkrong di kedai kopi Amerika… Bisa, sih, dimasukkan ke dalam botol dengan cara mencacahnya terlebih dahulu menjadi potongan-potongan lebih kecil. Tapi kita sama-sama setuju kalau itu nambah-nambahin kerjaan, ya kan?

Karena lebih memperhatikan, saya jadi sadar bahwa sekecil apa pun sampah plastiknya, berdampak sama terhadap lingkungan dan akhirnya kembali merugikan manusia. Justru semakin kecil, semakin berbahaya. Kenapa? Karena tidak terlihat sehingga dianggap tidak ada. Pernah lihat foto bangkai burung yang perutnya berisi sampah plastik? Sebesar apa sih paruh burung? Lebih besar mana dengan mulut botol air mineral? Siapa lagi yang tidak sengaja menelannya? Ikan yang berakhir di piring makan kita? Lalu serpihan dan butiran styrofoam yang berhamburan saat membuat prakarya atau dari karangan bunga dukacita yang cuma dipajang sehari. Ke mana perginya? Mungkin terhirup ke paru-paru anak SD? Atau tertimbun tanah dan mencemari sawah tempat tumbuh padi yang kita konsumsi? Ah, gampang. Dibakar saja. Tahu nggak bahwa ketika dibakar, plastik menghasilkan senyawa dioksin yang memicu kanker? Belum lagi baunya yang mencekik dan asapnya yang bikin mata perih. Mau diapakan juga, sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik akan kembali menghantui kita.

Seperti pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati”, membuat Ecobricks adalah salah satu upaya terakhir untuk menanggulangi sampah plastik. Nilai tambahnya memang segudang, mulai dari bisa dikerjakan siapa saja dan di mana saja sampai dapat difungsikan kembali menjadi benda-benda berguna dan tahan lama (plastik bisa bertahan ratusan hingga ribuan tahun sebelum terurai – atau mungkin lebih tepatnya terburai), namun akan jauh lebih bijak jika kita bisa mengurangi pemakaian benda-benda berbahan dasar atau berkemasan plastik dan secara sadar memilahnya ketika sudah tidak digunakan, dimulai dari diri sendiri. Karena pada akhirnya, the best Ecobrick of all is the one you don’t have to make.

Lebih jauh tentang Ecobricks:
Web: Ecobricks.org
FB: Ecobricks
Video: “Solving Plastic — one bottle at a time in the Northern Philippines